![]() |
Gambar dari sini |
Judul: Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
Pengarang: HAMKA
Penerbit: Bulan Bintang
Tahun terbit: 2005 di cetakan ke 29
Jumlah halaman: 236 (21 cm)
Perolehan: Pinjem Esteh
Ini novel sastra jadul. Orang kadang
menyebutnya Roman. Harusnya, aku sudah baca buku ini dari dulu. Tapi
nyatanya memang baru ketemu sekarang. Aku tidak tau apakah karangan
fiksi pada saat itu menggunakan bahasa seperti di buku ini atau
tidak. Aku tidak tau, sebuah novel disebuat dimasukkan ke golongan
buku sastra itu yang seperti apa. Atau roman. Aku tidak tau. Tapi
memang tata bahasa yang dipakai di novel ini berbeda. Novel dari
pengarang angkatan lama yang pernah say abaca selain ini adalah: Para
Priyayi, Umar Kayam dan Bumi Manusia, Pramoedya Ananta Toer. Keduanya
bahasanya tidak seperti ini. Apa karena latar dan setting novel yang
ada di ranah melayu minangkabau. Atau apakah ini memang gaya bahasa
HAMKA? Aku tidak tau, karena baru satu inilah karya HAMKA yang pernah
saya baca. Tapi intinya, gaya bahasa novel ini beda.
Kalau tentang muatan cerita, yaaa kisah
cinta. Harusnya, dengan kisah seperti ini dan dengan masa terbit
kisah ini pertama kali yakni tahun 1908, kisah ini bisa jadi roman
cinta fenomenal. Romeo n Julietnya Indonesia. Atau Layla Majnunnya
Indonesia.
Mungkin, novel ini akan punya
kekuatan seperti Romeo n Juliet atau Layla Majnun atau ohya! Sampek
Ingtay jika judul novel ini adalah Zainudin Hayati.
*mbayangin buya HAMKA baca tulisan ini
terus nyariin aku buat mentung kepalaku dan bilang: “Anak muda, kau
tau apa?” haaaa. Tapi asli. Mendengar judulnya untuk
pertama kalinya ditambah pengetahuan akan pengarangnya yang berasal
dari tahun sebelum kemerdekaan, terpikirnya ini adalah buku yang
bercerita tentang perjoeangan melawan pendjadjahan. Yang mungkin ada
kisah tjintanya. Tapi tema besarnya adalah itu. Bukan soal budaya dan
ras.
Pesannya sampai kurasa. Di zaman
itu, terbit tulisan seperti ini pastilah sangat cetar. Menggerakkan
pemikiran. Menimbulkan kritik social. Menyadarkan beberapa orang akan
ketimpangan karena adat budaya. Sangat pantas jika karya ini tak
lekang. Karena bahkan hingga detik ini sekalipun isu ini masih sangat
bisa dibahas dan diulas.
Ya. jadi buku ini isinya totally kisah
cinta boiiii. Kisah cinta tak sampai. Karena adat yang kolot.
Zainuddin, anak orang terbuang. Bapaknya minang yang matrilineal dan
ibunya bugis yang patrilineal seperti kebanyakan penduduk dunia.
Maka, ketika kedua orangtuanya meninggal. Dia bukan orang bugis dan
bukan orang minang. Tak ada garis adatnya. Menjejakkan kaki di
minang, tanah impiannya sejak kecil berkat dodoaian Ayahnya, ia harus
menanggung kecewa karena kenyataan tersebut diatas. Beruntung ia
orang yang berbudi baik. Jadi ia cukup disenangi oleh masyarakat
minang walau tak sampai menganggap saudara. Hidup tak bersanak
keluarga disana ia kesepian. Bertemulah ia dengan Hayati. Gadis
minang kembang desanya. Bertemu kali pertama di pondok milik
oranglain saat berteduh dari hujan. Terbitlah cinta itu. Cinta yang
bagi zainuddin bak gelandangan menemukan sandaran dan bagi hayati
cinta yang penuh empati belas kasihan.
Namun mereka tak bisa bersatu karena
adat. Karena zainuddin tak berbako. Sebab bimbang pula hati hayati
karena pemahaman dari teman-teman dan mamaknya tentang hal itu. Maka
hayati lebih memilih orang lain yang lebih aman.
Kesedihan tak terperi melanda
zainuddin. Tak lama berselang dari orang tua angkatnya yang juga
meninggal ia harus menerima kenyataan ditinggalkan oleh hayati.
Satu-satunya sandaran hidupnya. Tapi Allah masih berbaik hati.
Menguatkan raganya. Juga jiwanya melalui orang-orang yang masih
peduli dengannya.
Singkat cerita merantaulah ia ketanah
jawa. Berbekal bakatnya dalam menulis dan pendidikan yang pernah ia
tempuh di minang, ia menjadi penulis ternama. Dari Jakarta pindah ke
Surabaya, nasib baik masih menaunginya. Di Surabaya juga akhirnya ia
bertemu lagi dengan Hayati dan suaminya. Oleh karena beberapa sebab
yang timbul lagi dari masa lalu, pernikah hayati dan aziz berakhir
perceraian. Hayati diserahkan oleh aziz kepada zainuddin. Yang
diserahi menolak. Dendam di hatinya terlalu besar. Hayati
dipulangkannya ke minang naik kapal Van Der Wijck dari pelabuhan
SOerabadja. Dalam pada itu, tenggelamlah kapalnya.
Di akhir cerita, hayati masih sempat
bertemu zainuddin yang memag mencarinya setelah tau kabar itu. Mereka
kembali. Zainuddin kembali menerima hayati, begitupun sebaliknya.
Namun, taka da penyatuan raga. Hayati meninggal setelah dituntun
membaca syahadat oleh zainuddin.
Haaa aku ketularan gaya bahasanya.
Ada kutipan yang aku senangi di dalam
surat-surat zainuddin pada hayati:
"Bagaimanakah maka hati saya berkata begitu? Itu pun saya tak tau. Lantaran tak tahu sebabnya itu, timbul kepercayaan kepada kuasa gaib yang lebih dari kuasa manusia, kuasa gaib itulah yang menitahkan…"
Yah demikianlah kisah cinta ini
berakhir. Sejak dulu beginilah cinta. He heee…
Oya, seorang teman yang asli Lamongan suatu kali bercerita kalau novel ini akan di filmkan. Dan dalam rangka membuat film itu, sang sutradara mencari sumber kebenaran cerita dari penduduk setempat. Kakek temanku itu adalah salah satu sumber yang dapat dimintai keterangan. Melalui anaknya (Ayah temanku) didapatkan cerita bahwa orangtuanya dulu ikut membantu mengevakuasi korban saat Kapal ini tenggelam di suatu malam menjelang subuh. Dan atas bantuannya itu kakek temanku itu mendapat hadiah perahu dari Belanda.
Kita tunggu saja ya filmnya.. semoga sebagus novelnya :)
Oya, seorang teman yang asli Lamongan suatu kali bercerita kalau novel ini akan di filmkan. Dan dalam rangka membuat film itu, sang sutradara mencari sumber kebenaran cerita dari penduduk setempat. Kakek temanku itu adalah salah satu sumber yang dapat dimintai keterangan. Melalui anaknya (Ayah temanku) didapatkan cerita bahwa orangtuanya dulu ikut membantu mengevakuasi korban saat Kapal ini tenggelam di suatu malam menjelang subuh. Dan atas bantuannya itu kakek temanku itu mendapat hadiah perahu dari Belanda.
Kita tunggu saja ya filmnya.. semoga sebagus novelnya :)
0 komentar:
Posting Komentar